SELAMAT DATANG

Selamat datang di Blog Darah Daud 303. Semoga Anda menikmati apa yang ada di blog ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amen.

Cari Blog ini

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Blog DARAH DAUD 303 Memiliki aktivitas antara lain: penelitian, penulisan & konseling

Sabtu, 27 Agustus 2016

KENANGAN TERINDAH 27 AGUSTUS 2008: “PIMPINAN KONSULAT TIMOR LESTE DI BALI MELARIKAN DIRI”


"Tak seorangpun tanpa arus. Siapapun orangnya, di mana saja dia hidup, asal dia berpikir, akan senantiasa menjadi penerang dan sumber semangat bagi orang lain" (Herry George; Ekonom Amerika Serikat; 1839-1897)


Pengantar Singkat;
Artikel ini sudah pernah diposting sebelumnya dengan judul yang berbeda. Untuk itu bagi mereka yang sudah pernah membacanya, bisa dilewatkan saja. Terima-kasih.
Hari ini tanggal 27 Agustus 2016. Ada dua peristiwa di tanggal 27 Agustus yang menurutku berkesan dan sulit untuk melupakan tanggal ini.
Yang pertama adalah kejadian tanggal 27 Agustus 2008, di mana saat itu "penyakit usilku" kambuh dan saya mencoba "kerjai(n)" Pimpinan Konsulat Timor Leste di Bali.
Yang kedua adalah pada 27 Agustus 2012, di mana Kabinet Perdana Menteri Timor Leste mengeluarkan "surat sakti" (bukan surat sakit) sebagaimana saya lampirkan dalam artikel ini.
Surat tertanggal 27 Agustus 2012 tersebut ternyata setelah saya perhatikan baik-baik simbol (bilangan) yang tertera dalam “surat sakti” itu (0067) dan juga tanggal 27 Agustus, memastikan; “Siapakah yang akan terpilih sebagai “Presdien Partido Democratico yang baru”.
MEMBELI TELUR & OBAT BIUS SETELAH MENEFON KONSULAT
Hari itu setelah berbicara dengan Pak Putu Sastrawan (induk semang) di tokonya, saya langsung menelfon Konsulat Timor Leste di Denpasar. Saat itu saya menefonnya dari wartel karena jaman itu (2008) masih ada wartel di Denpasar.
Saat ini susah menemukan wartel karena pengusaha wartel mungkin jatuh pailit gara-gara banyak orang yang lebih memilih menggunakan HP (Hand Phone).
Begitu telfon berdering, terdengar suara lembut seorang wanita dari seberang sana; "Selamat siang. Konsulat Timor Leste. Ada yang bisa kami bantu?"
Begitu mendengar suara itu, saya langsung bisa pastikan; "Ini suaranya Mbak Kiki, Sekretaris Konsulat". Saya sudah familier sekali dengan suara itu karena sudah beberapa kali telfon sebelumnya, dan selalu Mbak Kiki yang menerima.
"Selamat siang Mbak Kiki (SKSD = Sok Kenal Sok Dekat). Maaf mengganggu. Pak Konsul ada?", tanya saya. "Oh ada, ada. Maaf, ini dari mana ya?", tanya Mbak Kiki.
Saya Benjamin, mahasiswa Timor Leste di Denpasar. Ada perlu dan ingin bicara dengan Pak Konsul jika tidak mengganggu aktivitas Beliau".
"Tunggu sebentar ya", terdengar suara Mbak Kiki. Saya menjawab terima-kasih. Tapi sepertinya ucapan "terima-kasih" dari saya sudah tidak sempat didengar Mbak Kiki.
Hanya berselang sekian detik,; "Haloo"... terdengar suara Pak Konsul (Bapak PAULO XIMENES). Beliau menggantikan posisi Bapak Manuel Serano yang saat ini menjabat sebagai Dubes (Duta Besar) Timor Leste untuk Indonesia.
Setelah menarik nafas panjang dan menenangkan diri, dengan penuh PD (Percaya Diri); "Selamat siang Pak Konsul. Maaf mengganggu. Ini saya Pak Putu Sastrawan , dari Denpasar.
Saya tuan rumah yang salah satu kamarnya dipakai Benjamin, dokter muda asal Timor Leste yang saat ini sedang "menjalani praktek di RSUP Sanglah Denpasar". Begini Pak Konsul....!!!"
Saya memberikan jeda sedikit, sambil menghela nafas, sengaja helaan nafasku dihembuskan via telfon biar terdengar Pak Konsul, 
Kemudian terdengar suara Pak Konsul; "Ya, teruss....",
"Begini Pak Konsul...!! Saya sebenarnya merasa tidak nyaman harus menyampaikan hal ini langsung kepada Pak Konsul. Tapi karena berdasarkan pesan yang ditinggalkan Sekretaris Negara Bidang Sosial & Bencana Alam Timor Leste, yaitu Bapak JACINTO RIGOBERTO GOMES DE DEUS,SE (saya menebutkan secara lengkap), yang sempat bertemu saya beberapa tahun yang lalu, bahwa jika ada apa-apa dengan Benjamin, termasuk masalah uang sewa kamar, bisa langsung kontak Pemerintah Timor Leste melalui Pak Jacinto karena Benjamin adalah mahasiswa kiriman Pemerintah Timor Leste".
"Yaa teruus...!!!', Beliau kembali menyela. Saya lalu meneruskan;
"Tapi setelah saya menghubungi nomor yang ditinggalkan Pak Jacinto, tidak tersambung maka saya menelfon ke sini karena Pak Jacinto bilang, jika sulit melakukan kontak dengan Beliau,bisa kontak ke Konsulat Timor Leste di Denpasar yang merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Timor Leste".
"Begini Pak Putu", terdengar suara Pak Konsul.
“Pemerintah & Negara Timor Leste sudah tidak lagi mengakui Benjamin sebagai Warga Negara Timor Leste. Negara mengirim dia ke Bali sebagai dokter muda untuk mengikuti praktek di Rumah Sakit. Tapi dia tidak mau praktek. Maunya tidur aja di rumah. Negara dan Pemerintah yang mana yang mau mengurus orang seperti itu”.
Terdengar suara Pak Konsul terus "nyerocos" tanpa henti. Saya diam dan hanya mendengarkan "ocehan" Pak Konsul, tapi gigi gerahamku mulai berbunyi. Jari-jari tanganku mengepal kuat menggenggam gagang telfon.
Jika saat itu Pak Konsul ada di depanku, ingin rasanya saya menimpuk kepalanya menggunakan batu. "Apa orang ini baru saja salah makan ya?"
Dia tidak tahu kalau saya dikeluarkan dari Rumah Sakit gara-gara Kementerian Kesehatan Timor Leste lah yang menunggak SPP saya. Kok sekarang saya dibilang “malas ikut praktek???”
Setelah Pak Konsul berhenti, giliran saya bersuara kembali;
"Pak Konsul...!!!" Begini saja. Dari pada masalah ini berlarut-larut, jika tidak mengganggu, saya mau bertemu bapak secara langsung saat ini juga untuk menyelesaikan masalah Benjamin ini. Apa bapak ada waktu?"
"Ooo...bisa…bisa… Pak Putu bisa langsung dating ke Konsulat saat ini juga. Tahu Kantor Konsulat Timor Leste di Renon khan? Bekas Gedung yang dulu digunakan Pemerintah Australia, di Jalan Muhammad Yamin. Saya tunggu yaa…!”
Begitu Beliau bilang; Saya tunggu yaa…, saya langsung berkata dengan volume suara yang lumayan tinggi;
"Obrigado barak Sua Excclencia. Hau mak BENJAMIN. Desculpa barak, tamba ohin hau confessa ba Sua Excelensia dehan hau ne Pak Putu Sastrawa. Agora kedan hau ba Konsulado. Sua Exccelencia hein iha ne ba. Keta sai ba fatin ruma eee....!!!!".
Terjemahan;
"Terima-kasih banyak Yang Mulia. Saya lah BENJAMIN. Mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena tadi saya mengaku sebagai Pak Putu Sastrawa. Saat ini juga saya ke Konsulat. Yang Mulia tunggu saya di sana. Jangan kemana-mana yaaa....""
Ternyata, begitu Beliau tahu (dan mungkin sadar, sedara-sadarnya) telah "dikadali(n), Beliau mungkin emosi habis. Terdengar telfon ditutup dengan cara "dibanting". Kalau saja "bahan telfon" terbuat dari kaca atau keramik, pasti pecah berantakan.
Saya keluar dari wartel dengan perasaan “gegana” (gelisah galau & merana). Kok, bisa ya Pemerintah & Negara Timor Leste bersikap seperti itu? Yang membuat masalah adalah mereka. Bukan saya. Mereka lah yang membuat PERJANJIAN dengan fihak Kedokteran Unud.
Saya tidak pernah datang merengek-rengek kepada mereka untuk harus mengirim saya kembali ke Unud. Tapi saya "dicari" dan diminta untuk harus kembali ke Bali.
"Mengapa saya yang harus jadi tumbal? Ini sama sekali TIDAK ADIL". Ini seharusnya menjadi tanggung-jawab Kementerian Kesehatan Timor Leste, cq PMU (Project Manager Unit), di bawah tanggung-jawabnya dr. Joao Soares Martins (nama ini saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran UNTL (Universidade Nasional Timor Lorosae).
Saya terus berpkir keras, bagaimana saya harus memberi pelajaran berharga kepada Konsul yang satu ini. Nama lengkapnya PAULO XIMENES. Mengapa nama ini harus berurusan dengan saya hari ini? Apa istimewanya NAMA ini dalam sejarah Timor Leste yang berdarah-darah?

Bukan seorang Paulo Ximenes yang “dipanggil TUHAN ke Bukit Sio(n) untuk menerima JANJI TUHAN mengenai Kemerdekaan Timor Leste.

Bukan seorang Paulo Ximenes yang ditemui dua Malaikat TUHAN di RSUP Sanglah Denpasar pada 3 Februari 1994 dan memintanya untuk datang ke Bukit Sio(n), untuk menerima PESAN TUHAN tentang "masa depan bansga itu".
Bukan seorang Paulo Ximenes yang berdiri di Bukit Sio(n) untuk mendengarkan; "Bagaimana Suara ALLAH yang menderu-deru bagaikan suara air bah dari atas Tahta Suci-Nya yang menjulang tinggi nun jauh di atas Langit Gunung Ramelau sambil mengacungkan Lengan-Nya menjulang tinggi.

Bukan seorang Paulo Ximenes yang diberi kuasa oleh ALLAH untuk menempuh resiko tinggi, menggadaikan kepalanya, mengikrarkan SUMPAH ULAR KUNING di hadapan ribuan orang, guna melengserkan Presiden Soeharto.

Jika seorang Paulo Ximenes yang dipanggil ALLAH untuk mengikrarkan SUMPAH REFERENDUM, mengapa bukan namanya yang dipilih ALLAH sebagai "Simbol Kemenangan Referendum?"

Tiba-tiba sesuatu terlintas di benak saya. Saya tiba-tiba mengingat sesuatu. Saya menurunkan tas dari bahu saya.

Tiba-tiba sesuatu terlintas di benak saya. Saya tiba-tiba mengingat sesuatu. Saya menurunkan tas dari bahu saya.
Masih dengan perasaan “gegana”, saya mengeluarkan kertas dan alat tulis, Saya mencakar-cakar sebentar. Dan ternyata hasilnya, sungguh di luar dugaan saya. Ternyata nama Paulo Ximenes memiliki nilai numerik yang sama dengan MAJAPAHIT, sama-sama menghasilkan bilangan "810".
Saya seakan tidak percaya dengan hasil cakaran itu. Mungkin saja saya salah hitung. Saya coba lagi, lagi dan lagi. Hasilnya tetap sama. PAULO XIMENES jika dibawa ke Bilangan Pythagoras, hasilnya = MAJAPAHIT = 810.
"Kok nama ini melambangkan MAJAPAHIT? Dan hari ini membuat arenalinku mendidih? Ada apa dengan nama ini?"
Akhirnya sesuatu yang sedikit “nakal”, bahkan agak gila, tiba-tiba tersangkut di hatiku, lalu naik ke otakku. Naluri liarku bergejolak. Penyakit USIL-ku kambuh. Saya membayangkannya. Membayangkan sesuatu yang sedikit gila ini.
"Apa kata orang-orang kalau saya melakukan ini? Apa jadinya jika kemudian tindakanku berubah menjadi begini atau begitu?
Aahhk...hidup ini hanya satu kali. Saya bukan nabi, bukan orang suci, bukan seorang rohaniawan, bukan seseorang yang memiliki atribut sosial terhormat. Poinnya saya bukan siapa-siapa", jadi tidak perlu menguras energi untuk menjadi “orang alim”, saya terus membathin.
"Peduli amat. Que sera...seraa...!!! Saya memiliki “investasi besar” atas perjuangan bangsa itu. Saya tidak terima diperlakukan seperti ini. Saya harus bertindak. Biar seumur hidup seorang Paulo Ximenes tidak melupakan saya.
Sekali-sekali bertindak sedikit nakal tidak masalah, asal tidak membahayakan nyawa orang lain. Hitung-hitung, bisa membuat hidup ini lebih bernuansa. Hidup harus diberi warna lebih. Tidak perlu terlalu jaim (jaga image = imeij)", bathinku terus bergejolak.
Akhirnya saya memutuskan sesuatu. "Ya, anggaplah ini kenangan terindah dalam hidup saya. Sudah lama sekali saya tidak lagi “usilin orang lain”, semenjak menjalani PUASA VVV.
Saya membuat keputusan yang sedikit beresiko. Tapi biarlah....!!!" 
Saya memacu kendaraan menuju Pasar Sanglah.
Tujuan saya mau membeli 4 butir telur. (Simbol kebesaran Raja HAYAM WURUK, nama yang artinya; AYAM Yang Terpelajar). 
Di sana, di Pasar Sanglah, saya membeli 4 butir telur. Mengapa jumlahnya harus 4? Ada 3 alasan.
(1). Bilangan 4 ini melambangkan HUKUM SABAT (Perintah TUHAN yang ke-4). 
(2). Ada hubungannya dengan TANAH TERJANJI.
(3). Ada hubungannya dengan HAYAM WURUK, Raja MAJAPAHIT ke-4.
Setelah membeli 4 butir telur, saya mampir ke Apotik Sehat dekat Pasar Sanglah untuk membeli obat bius.
"Obat bius apa yang ada di sini?", tanyaku kepada petugas (wanita paruh baya) yang sudah saya kenal dengan sangat baik karena saya sering beli obat di situ? Petugas Apotik Sehat menyebutkan sejumlah merek obat bius.
Saya meminta sediaan dalam bentuk uap. Saya menyebutkan satu merek. Petugas itu menyebutkan nama obat tertentu, tapi berkata; bla...ba...bla...Petugas Apotik minta resep dokter. Saya mengeluarkan kertas dan menuliskan resep.
Setelah menerima obat bius yang tersedia, dan membayar harga yang lumayan mahal untuk ukuran "mahasiswa kere" seperti saya, saya tiba-tiba jadi mikir sambil memandangi obat bius di tanganku. 
Jika saya gunakan obat bius ini apa ada kesempatan untuk melakukannya? Jika begini atau begitu...mungkin saya akan menemui kesulitan dengan obat bius ini.
Saya hanya mau membuatnya “pingsan” dan kemudian memecahkan ke-4 butir telur ini di kepalanya, lalu pergi dengan aman tanpa harus diganggu.
Perhitunganku (untung-untungan), Pak Konsul akan membutuhkan waktu sekian menit untuk kembali sadar dari pingsannya. Selama Beliau pingsan, saya akan berlalu dengan sangat aman dari Konslulat tanpa hambatan.

Akhirnya terlintas sesuatu di benak saya. "Hhhmmmm....PALU....! Ya, palu..!!" Nama PALU rada-rada sama dengan nama; PAULO.
Saya memilih PALU karena pertimbangan mekanis (praktis).
Palu akan mudah dimasukkan ke tas saya. Kalau saya mencari batang kayu, bagaimana bisa dimasukkan ke tas? Datang ke Konsulat membawa "batangan kayu", pasti akan dihadang di depan pintu gerbang oleh Security.
Jika saya mengalami kesulitan membiusnya, maka Cerebellum (Otak Kecil) yang merupakan "Pusat Keseimbangan", akan saya pukul pakai PALU untuk membuatnya pingsan.
Bukan untuk membunuhnya. Untuk apa membunuh seorang Pimpinan Konsulat. Rugi besar...!! Tidak ada untungnya. Yang ada malah tambah dosa. Dan, PUASA VVV-ku yang telah berjalan bertahun-tahun bisa gatot (gagal total).
Jaman dulu, ketika obat bius belum ditemukan, banyak pasien dibedah dengan cara "Memukul Cerebellum" atau memukul Mandibula (rahang bawah). Jika operasi belum selesai dan pasiennya sadar, kembali dipukul pakai apa saja, yang penting pukulnya di daerah Cerebellum atau Mandibula (tepatnya dagu), maka pasiennya akan kembali pingsan dan pembedahan dapat diteruskan.
Anda tidak percaya? Silakan dicoba....!!! Agar Anda memiliki pengalaman "menghitung bintang" sebagaimana dialami oleh para petinju yang KO (Knock Out) karena terkena pukulan di Mandibula.
Setelah mendapatkan PALU dengan gagang yang lumayan kuat, saya meluncur ke Kantor Konsulat.
Selama dalam perjalanan menuju Konsulat, yang ada di benakku adalah; "Keluargaku yang “tewas dibantai" (saya tidak perlu menyebutkan di sini, siapa yang membantai, karena tidak ada gunanya, apalagi untungnya).
"Keluargaku nyaris habis dibantai gara-gara perang konyol yang saya tidak tahu untuk kepentingan siapa? Saya telah menghabiskan seluruh waktu dan energi saya bertahun-tahun, ikut berjuang mati-matian untuk negeri itu.
Setelah negeri itu mencapai tujuan nasionalnya, saya harus kembali ke Bali untuk menjalani PUASA VVV bertahun-tahun. Dan PUASA VVV ini bukan untuk kepenitngan saya pribadi. Tapi kenapa saya harus diperlakukan seperti ini???
Ini benar-benar tidak adil sama sekali. "Ya, TUHAN...! Ampuni hambamu ini. Jika Engkau tidak menghendaki ini terjadi, bantulah hamba menjauhkan orang itu dari hadapan hamba".
Saya terus bergumam dalam hati sepanjang perjalanan. Begitu tiba di Konsulat, saya memarkir kendaraan agak jauh dari pintu gerbang. Saya menghampiri petugas Security di pos jaga. Menyampaikan tujuan kedatanganku, ingin bertemu Pak Konsul karena sudah ada janji beberapa menit yang lalu melalui telfon.
Saya diminta isi buku tamu. Saya menuliskan namaku (Antoninho Monteiro, tanpa BENJAMIN) di buku tamu.
Jika Staf Konsulat ikut membaca artikel ini, bisa membuka arsip-buku tamu tertanggal 27 Agustus 2008. Pasti di sana ada namaku; Antoninho Monteiro (tanpa Benjamim).
Kemudian pintu gerbang dibuka, saya dipersilahkan Petugas masuk sambil Petugas itu tersenyum simpul. Saya membalas senyumnya. Saya balik tersenyum, mungkin expresiku lebih terlihat "nyengir" ketimbang tersenyum.
Saya melangkah masuk sambil menarik nafas dalam-dalam, berusaha sebisa mungkin untuk mengontrol diri. Setidak-tidaknya, sebelum berada di ruangan Konsul, saya tidak boleh bertindak konyol. Semua rencanaku bisa gatot.
"Selamat siang...!!! Saya memberi salam, menyapa sejumlah Staf Konsulat yang saat itu berada di ruangan yang sudah tidak asing lagi bagi saya. Karena sudah beberapa kali bertemu mereka di sana sebelumnya. Mereka membalas salamku.
"Mau bertemu Pak Konsul, barusan sudah janjian via telfon", kata saya menjelaskan tujuan kedatanganku.
Saya tidak tahu saat itu wajah saya tampak seperti apa di depan mereka?
"Ooohh..maaf mas, Pak Konsul baru saja keluar", Mbak Kiki bersuara, dengan ekspresi wajah yang sangat manis. Memang orangnya sudah manis dari orok.
'Yakin...??? Kami baru saja janjian via telfon mau bertemu di sini", saya kembali bersuara. Nada suaraku sedikit mulai emosi. "Masaq Konsul melarikan diri sich?", gumamku dalam hati.
"Ya, benaran... Pak Konsul baru saja pergi sekitar 20 menit-an yang lalu", kembali suara Mbak Kiki meyakinkan saya. Sementara Staf yang lain hanya menatap saya dalam diam, tetatpi tetap tersenyum, senyuman persahabatan.
"20 menit-an? Berarti Beliau pergi begitu selesai "berkotbah ria" di telfon, bathinku. Saya diam sebentar sambil memikirkan sesuatu. 
"Jangan-jangan Pak Konsul sedang "ngumpet" di ruangannya.
Akhirnya saya membuat keputusan. Peduli amat. Mau ada gempa mengguncang, mau ada tsunami naik menenggelamkan Pulau Bali, EGP ( Emang Gue Pikirin).
Adrenalinku sepertinya mulai mendidih. Sebentar lagi bertumpah ruah di mana-mana. Saya menduga Pak Konsul sedang "ngumpet" di ruangan. Jika dugaanku benar, maka saya akan merubah "plan A" ke "plan B".
Kalau saya tidak bisa membiusnya, maka saya akan mengeluarkan ke-4 butir telur ini dan menimpuknya ke atas kepala Beliau sebagai-kenangan terindah sepanjang hidupnya, juga sepanjang hidup saya. 
Kemungkinan terburuk sudah saya perhitungkan.
Paling-paling saya diangkap oleh Security dan ada kemungkinan saya terkena "bogem mentah", lalu diserahkan kepada fihak Kepolisian dengan tuduhan (pasal) "penganiaan" dan (pasal) "perbuatan tidak menyenangkan". Itu saja. Tidak lebih. Tidak mungkin mereka akan membunuh saya.
Sementara sekian detik berpikir, saya menatap satu per satau Staf di ruangan itu sebentar. Mereka mengira saya saya akan segera mohon pamit meninggalkan ruangan dan pulang. Yang sedang ada di benak, sama sekali tidak pernah terlintas di benak mereka. Apalagi mereka pikirkan.
Tiba-tiba saya berbalik, meninggalkan para Staf dan dengan sangat cepat bergerak melangkah menuju pintu ruang Konsulat.
Saya memegang kuat-kuat hendle pintu dan membukanya lebar-lebar. Mataku menyapu seluruh sudut ruangan yang sangat dingin itu. Ternyata Pak Konsul sedang tidak ada di ruangan.
Ruang kerjanya kosong. Saya mencoba masuk untuk memastikan Beliau tidak sedang "ngumpet" di balik meja kerjanya. Tetapi setelah saya cek, memang benar-benar kosong. Tidak ada mahkluk dalam wujud apapun yang "ngumpet" di sana. (Rupanya; Maun bot kala halai lakon).
330 hari sebelumnya, tepatnya pada hari Selasa, 2 Oktober 2007; saya pernah berada di ruangan itu untuk menerima surat bernomor "263", teranggal 25 Juli 2007 yang dikirim Pemerintah Timor Leste; Cq. Kementerian Kesehatan Timor Leste yang ditanda-tangani oleh Bapak Feliciano da Costa, DG Kementerian Kesehatan Timor Leste.
Saat itu (2007) Konsulnya adalah Bapak Manuel Serano, yang kini ini menjabat sebagai Dubes Timor Leste untuk Indonesia.
Bedanya adalah; Pada 2 Oktober 2007, saya dilayani dengan sangat baik oleh Pimpinan Konsulat saat itu (Pak Serano), namun hari itu, 27 Agustus 2008, Konsul pengganti Pak Serano "melarikan diri" (saya meminta maaf; jika Bapak Paulo Ximenes ikut membaca artikel ini dan merasa tidak nyaman dengan penggunaan kalimat ; "melarikan diri").
Karena saya tidak menemukan Beliau di ruangan, saya meninggalkan ruangan; menutup pintu dan menghampiri para Staf Konsulat yang menatap saya dengan pandangan aneh. Mereka mungkin berpikir; "Ini orang benar-benar bonek asli".
Saya tidak tahu persis; Pak Konsul melarikan diri ke mana. Saya menanyakan kepada "Mbak Kiki" (Sekretaris Konsulat); "Jam berapa Pak Konsul kembali ke kantor?"
Kata mbak Kiki; sekitar sore-an dikit.
Saya meminta izin untuk menunggu. Mbak Kiki mempersilahkan saya menunggu di dalam saja, di ruang tamu. Tapi saya memilih untuk keluar dan menunggu di depan Konsulat, tepat di bawah pohon yang rindang (di tepi jalan). Hitung-hitung sambil cuci mata, menonton orang-orang yang lalu-lalang di jalan raya.
Setelah sekian menit saya duduk di bawah pohon, Mbak Kiki membawa sebuah kursi keluar. Saya ditawari untuk menduduki kursi tersebut. Perasaan saya jadi "gado-gado", menerima tawaran kursi itu. Di satu sisi, saya senang menerima tawaran itu, ketimbang harus duduk di atas alas yang keras.
Tapi di sisi lain, saya merasa geli dan juga merasa aneh sendiri. Bayangakan saja. Seseorang menduduki sebuah kursi di tepi jalan raya berjam-jam. Yang tadinya saya mau cuci mata menonton orang-orang yang lalu-lalang di jalan raya, sekarang malah terbalik, saya yang jadi "tontonan" orang-orang yang lalu-lalang.
Selama 5 jam (dari pukul 15.00/jam 3 sore sampai pukul 20.00/jam 8 malam) saya menduduki kursi yang diletakkan di tepi Jl. Muhammad Yamin Renon Denpasar, dan menjadi tontonan orang-orang yang berlalu-lalang di jalan raya.
Malam itu, saat mengembalikan kursi ke Satpam, saya sempat menanyakan alamat rumah Pak Konsul. Tapi Satpam menjawab tidak tahu. Saya meninggalkan Konsulat, pulang ke kosku di Jalan Taurat nomor 15 Sanglah Denpasar.
Pada keesokan harinya, tanggal 28 Agustus 2008, saya kembali mendatangi Konsulat. Tetapi hari itu, saya tidak diijinkan masuk ke dalam untuk menemui Konsul sebelum menunjukkan ID guna memastikan bahwa saya benar-benar sli Warga Negara Timor Leste. Saya tidak membawa ID yang dimaksud.
Saya tidak membawa ID karena selama ini tidak pernah ada aturan itu. Tiap kali saya datang, tinggal menulis nama di buku tamu, tujuannya menemui siapa, lalu beres, langsung masuk. Kok hari itu, saya harus memperlihatkan ID?
Saat itu saya melihat sejumlah mahasiswa Timor Leste datang dan langsung masuk tanpa harus memperlihatkan ID Card bahwa mereka adalah asli Warga Negara Timor Leste. Tapi mengapa saya harus diminta memperlihatkan ID Card?
Saya berusaha keras untuk masuk. Tapi Satpam mengatakan; "Saya menerima perintah dari Pimpinan Konsulat untuk mencegah anda memasuki Konsulat".
Karena tidak diijinkan masuk, saya meninggalkan Konsulat menuju Kampus Pusat Unud (Universitas Udayana), di Jl. PB Sudirman Denpasar untuk bertemu Dekan FK (Fakultas Kedokteran).

PAK DEKAN MARAH-MARAH
Hari itu, begitu saya memasuki ruang kerja Dekan FK Unud (Prof. Dr. dr. I Ketut Sustika,Sp.PD yang saat ini menjabat sebagai Rektor Unud, saat saya menyebutkan nama saya, dan tujuan kedatangan saya untuk meminta "klarifikasi tertulis" Pimpinan FK Unud berkaitan dengan keputusan FK Unud; 12 Januari 2005 mengeluarkan saya dari RSUP Sanglah, saya belum sempat duduk, saya sudah langsung "kena marah".
Karena Pak Dekan langsung marah-marah, maka saya sengaja meletakkan tasku di atas meja Beliau sambil berdiri.
Mengapa saya meletakkan tas di atas meja Dekan? Karena di dalamnya saya sudah siapkan "alat perekam.
Tapi saya pastikan; Pak Dekan sama sekali tidak tahu kalau di dalam tas saya ada alat perekam.
"Dari mana saja kamu? Surat itu sudah lama disiapkan. Tapi kamu dicari ke mana-mana tidak ketemu. Ditelfon tidak ada. Dikrimi SMS tidak balas. Dikrimi email, tidak balas. Kamu khan tahu betul, bahwa yang namanya kuliah itu harus bayar SPP (......???????).
Kata-kata di atas adalah kata-kata "pembuka" Prof. Suastika yang diucapkan Beliau di ruang kerjanya, pada 28 Agustus 2008, yang terekam di "Walkman" kesayanganku yang masih saya simpan sampai saat ini.
Saya memunculkan tanda tanya banyak-banyak, sebagaimana terdapat dalam kurung karena saya sama sekali tidak pernah mendapat panggilan telfon dari FK Unud, kiriman SMS dari FK Unud, kiriman email, apalagi dicari orang-orang (Staf) FK Unud.
Beliau adalah Dekan baru yang menggantikan Dekan FK sebelumnya, Prof. Sudjana (Ahli Parasitologi).
Saya hanya menduga-duga saja. Beliau marah, mungkin karena menerima "Laporan" dari bawahannya yang mengatakan seperti itu; bahwa Staf FK Unud telah melakukan berbagai usaha untuk kontak saya, guna menyampaikan "klairifikasi tertulis”.
Begtiu Prof. Suastika mengucapkan kalimat; "Kamu khan tahu betul bahwa yang namanya kuliah itu harus bayar SPP"; walau perasaanku tidak nyaman, dengan sangat terpaksa; masih dalam posisi berdiri di hadapan Beliau; karena belum dipersilahkan duduk, saya langsung menyela;
"Maaf Prof....!!! SPP saya dengan SPP dr. Domingos Alves dengan nominal sebesar; $ 21 US (dua puluh satu ribu dollar Amerika); sudah dilunasi Pemerintah Timor Leste".
Karena SPP sudah lunas itulah; maka FK UNUD menempuh "satu kebijakan khusus" terhadap saya dan dr. Domingos Alves dengan mengeluarkan surat tertanggal 26 September 2005" di mana kami berdua “wajib diluluskan” dan tidak harus mengulang kembali “Co-Schap. Apalagi Timor Leste “kekurangan dokter”.
Saat dipanggil, dr. Domingos Alves yang datang untuk mengikuti Yudisium dan kemudian Wisuda. Sementara saya tidak datang karena saya lagi menjalani “Puasa VVV” (benar-benar tidak boleh menemui siapapun untuk menyaringkan suara).
Selama saya dan dr. Domingos ALves kembali ke sini, saya yang rajin ikut koskap, sementara seniorku dr. Domingos Alves tidak mau ikut koskap karena “perjanjian” itu merugikan kami.
Kalau Prof. tidak percaya, bahwa antara saya dan dr. Domingos Alves, sayalah yang rajin ikut koskap, boleh kirim surat sekarang juga ke Timor Leste, dan meminta dr. Domingos Alves kembali ke sini untuk memastikan segala sesuatunya.
Tanggal 26 September 2005, FK Unud mengeluarkan surat termaksud, adalah dengan tuajuan mulia, di mana FK Unud memutuskan untuk menempuh kebijakan khusus, agar kami berdua “diluluskan saja” karena kami berdua adalah “stock lama” yang seharusnya tidak perlu lagi terus “beredar” (berkeliaran) di Rumah Sakit Sanglah.
Begitu Beliau mendengar bahwa SPP saya ternyata sudah lunas, Beliau langsung berubah sikap (lebih lunak) dan mempersilahkan saya duduk. Saya lalu duduk dengan manis, walau jauh di lubuk hati saya yang paling dalam ada "ganjalan" yang mengganggu (???)
===========================================
"Kekayaan dan kemewahan selamanya berasal dari pencurian. Jika tidak dilakukan orang yang bersangkutan, paling kurang dilakukan oleh orang tua atau nenek moyangnya" (Santo Yeromilus alias Eusebius Hironimus; Teolog Roma Kelahiran Dalmasia, Permrakarsa Utama Terjemahan Injil Dalam Bahasa Latin; 340-420)
===========================================
Semoga “curhat gila” ini menghibur Anda.
Selamat berakhir pekan bersama Keluarga tercinta.
Selamat merayakan Sabat Suci bagi mereka yang merayakannya.
Salam “Dua Hati” dari “Bukit Sulaiman”.
TUHAN YESUS memberkati
Bunda Maria merestui
Santo Yosef melindungi kita semua (hitam & putih). Amin.

Tidak ada komentar: